Marah Rusli
Nama : Sanusi Pane
Lahir : Muara Sipongi, Tapanuli, Sumatera Utara, 14 November 1905
Pendidikan :
HIS dan ELS Padang Sidempuan, Tanjungbalai, Sibolga, MULO Padang dan Jakarta (1922), Kweekschool, Jakarta (1925), Rechtshogeschool bagian Othonlogi
Karier :
Guru, Redaktur majalah Timbul (1929-1930), Pemimpin surat kabar Kebangunan (1941), Redaktur Balai Pustaka
Karya Tulis :
Pancaran Cinta (1926), Prosa Berirama (1926), Puspa Mega (1927) Kumpulan Sajak (1927), Airlangga (1928), Eenzame Caroedalueht (1929), Madah Kelana (1931), Kertajaya (1932), Sandhyakala Ning Majapahit (1933), Manusia Baru (1940)
Biografi :
Sastrawan Sanusi Pane dilahirkan di Muara Sipongi, Tapanuli, Sumatera Utara, 14 November 1905. Ia menempuh pendidikan formal di HIS dan ElS di Padang Sidempuan, Tanjungbalai, Sibolga, Sumatera Utara. Kemudian melanjutkan ke Mulo di Padang dan Jakarta, tamat 1922. Setamat Kweekschool Gunung Sahari tahun 1925, ia diminta mengajar di sekolah itu juga yang kemudian dipindahkan ke Lembang dan jadi HIK. Selanjutnya ia mendapat kesempatan mengikuti kuliah Othnologi di Rechtshogeschool.
Pada Tahun 1929-1930 ia mengunjungi India. Sekembalinya dari sana, ia duduk dalam redaksi majalah TIMBUL (dalam bahasa Belanda, kemudian pakai lampiran Indonesia), ia menulis karangan-karangan kesusastraan, filsafat dan politik, sambil bekerja sebagai guru. Tahun 1934, ia dipecat sebagai guru karena keanggotaannya dalam PNI. Kemudian ia menjadi pemimpin sekolah-sekolah Perguruan Rakyat di Bandung dan menjadi guru pada sekolah menengah Perguruan Rakyat di Jakarta. Tahun 1936, ia menjadi pemimpin surat kabar Tionghoa-Melayu KEBANGUNAN di Jakarta dan tahun 1941, ia menjadi redaktur Balai Pustaka.
Dalam banyak hal Sanusi Pane adalah antipode dari Sutan Takdir Alisjahbana. Berbeda dengan Takdir yang menghendaki coretan yang hitam dan tebal”dibawah pra-Indonesia, yang dianggapnya telah menyebabkan bangsa Indonesia telah menjadi nista, Sanusi sebaliknya malah mencari ke jaman Indonesia purba dan kearah nirwana kebudayaan Hindu. Perkembangan filsafat hidupnya sampai pada sintesa Timur dan Barat, persatuan rohani dan jasmani, akhirat dan dunia, idealisme dan materialisme. Puncak periode ini ialah dramanya Manusia Baru. PB/PR 1940.
Sanusi Pane banyak mengarang buku, diantaranya ; Pancaran Cinta dan Prosa Berirama ditahun 1926, Puspa Mega dan Kumpulan Sajak ditahun 1927, Airlangga”drama dalam bahasa Belanda, pada tahun 1928, Eenzame Caroedalueht, drama dalam bahasa Belanda ditahun 1929, Madah Kelana dan kumpulan sajak yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1931, naskah drama Kertajaya ditahun 1932, naskah drama Sandhyakala Ning Majapahit”pada tahun 1933, naskah drama Manusia Baru yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1940. Selain itu, ia juga menterjemahkan dari bahasa Jawa kuno kekawin Mpu Kanwa dan Arjuna Wiwaha yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1940.
penjajahan era modern
17 agustus 1945 adalah hari yang dikenang oleh bangsa dan negara ini sebagai hari dikumandangkannya teks proklamasi. Seantero Indonesia menyambut secara sukacita kebebasan atas bangsa lain yang mengatur Indonesia secara dictator. 350 tahun oleh belanda dan 35 tahun oleh jepang rasanya adalah waktu yang sangat lama dirasakan oleh nenek moyang. Keringat, air mata, dan darah mewarnai perjuangan para pejuang bangsa. Tak sedikit nyawa yang melayang dalam perjalanan menuju kemerdekaan. Raga dan jiwa didedikasikan secara sukarela demi merebut harga diri dan jati diri bangsa.
63 tahun berlalu dalam perjalanan ibu pertiwi. Kita patut bersyukur kepada tuhan YME karena sang saka merah putih masih kokoh berdiri hingga saat ini. 1945 sampai selamanya adalah slogan yang terdapat di benak punggawa nusantara. Namun pertanyaannya sekarang, dapatkah hal tersebut terealisasi?
Pada era globalisasi ini, negara-negara agresor memiliki cara yang sangat canggih untuk menaklukan negara-negara jajahan. Cara ini lebih efektif dibandingkan dengan agresi militer atau angkat senjata. Cara ini dinilai lebih halus karena mungkin negara jajahan tidak menyadarinya. Cara ini, bagaikan racun yang menyebar sangat lambat namun sangat mematikan lawan.
Universalitas sebagai akibat dari perkembangan zaman adalah kamuflase yang dibuat untuk menutupi “kebusukan” para agresor. Salah satu hal yang dibawa agresor dari slogan globalisasi adalah bahasa negaranya.
Bahasa merupakan hal yang sangat urgen karena dapat membuat seseorang memahami orang lain. Bahasa sebagai fasilitator penukar pikiran kmutlak harus dimiliki oleh suatu bangsa. Dalam hal ini sumpah pemuda pada 28 oktober 1928 semakin menguatkan individu-individu Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Tapi apa yang terjadi sekarang? Berbalik 180 derajat.
Bahasa Indonesia yang baik dan benar memang memiliki tempat untuk menggunakannya, yaitu di forum-forum resmi. Namun bahasa Indonesia dapat diibaratkan sebagai pohon yang besar yang memiliki akar-akar yang banyak. Akar-akar dari bahasa Indonesia adalah bahasa daerah. Bahasa yang digunakan di daerah tertentu, sering disebut bahasa pergaulan. Misalnya bahasa daerah betawi, biasa disebut bahasa pergaulan betawi. Bahasa pergaulan berbeda dengan bahasa gaul. jika bahasa pergaulan adalah akar dari bahasa Indonesia, tidak dengan bahasa gaul. bahasa gaul adalah suatu bahasa yang biasa digunakan oleh para remaja. Bahasa ini diciptakan sendiri oleh mereka dan tidak ada maknanya dalam KBBI. Misalnya saeperti bete, so what gitu loch, dll. Bahasa ini sebagian besar merupakan campuran dengan bahasa asing.
Bila dibiarkan, lama kelamaan para generasi muda akan lebih sering menggunakan bahasa gaul daripada bahasa pergaulan. Hal ini tentu akan berimbas pada pelestarian bahasa Indonesia dan bahasa pergaulan. Dan akan berdsampak pula pada budaya bangsa. Jika bahasa Indonesia dilupakan, tentu budaya-budayanya akan ditinggalkan pula. Karena akar-akar dari bahasa Indonesia adalah bahasa daerah yang notabene adalah bahasa yang digunakan sebagian besar oleh kebudayaan-kebudayaan tradisional di Indonesia. Menurut jenderal TNI ryamizard ryacudu dalam bukunya perang modern (2004) “budaya adalah landasan dan sumber orientasi utama suatu bangsa terhadap berbagai permasalahan yang berkembang dan sebagian basis tumbuhnya system nilai dan norma suatu bangsa”
Saat itulah para agresor dengan embel-embel universalitas masuk ke negara tujuannya. Dan akhirnya budaya baru itulah yang akan diterima oleh para generasi muda karena mereka seperti sudah akrab dengan budaya tersebut. Mereka akan menerima budaya dari negara agresor perlahan-lahan lalu akan tercipta sugesti di pikiran mereka bahwa budaya negara agresor lebih baik dari budaya negara mereka sendiri. Lama kelamaan lifestyle pun akan menyusul masuk ke negeri ini. Mereka akan semakin terbiasa dengan budaya negara agresor dan budaya mereka akan dilupakan. Jika sudah terjadi hal yang demikian, akan sangat mudah mempengaruhi mereka saat ada isu-isu politik yang memojokkan negara agresor.
Gerakan separatisme akan terjadi dimana-mana guna memisahkan diri dari negara. Bersamaan dengan itu, agresor akan mendekati gerakan separatis bahkan membantu dengan berbagai bantuan. Dan itulah saat kehancuran yang sudah diskenariokan negara – negara agresor.
ferry maulana prateja
resensi buku
Judul Buku : Ketika Cinta Bertasbih
Penulis : Habiburrahman El Shirazy
Penerbit : Republika
Tahun : 2008
Editor : Anif Sirsaeba El Shirazy
Tebal Buku : 483
Cetakan ke- : 11
Jenis Kertas : Soft Cover
Sampul : Dominan Coklat dengan gambar Masjid
Harga Buku : Rp. 53.550;
Novel Ketika Cinta Bertasbih tergolong novel yang langka di Indonesia, terbukti dari penjualan yang meraih Best Sellernya. Novel yang ditulis oleh Habiburrahman El Shirazy ini menjadi setetes embun penyejuk yang mengobati kehausan para pembaca Indonesia, yang haus akan bacaan yang memperkaya iman, dan dapat memotivasi diri.
Dalam novelnya ini Habiburrahman banyak menekankan pada berbagai macam sudut pandang, baik dalam segi agama, norma di masyarakat, norma sosial dan segi politik. Teori bahwa manusia telah banyak kehilangan akalnya dalam bertindak sesuai norma agama adalah salah satu alasan mengapa novel ini diterbitkan. Dalam novel ini tampak jelas sekali perbedaan antar mumin dengan hanya sekedar muslim saja. Aroma percintaan yang disjikan oleh pengarang, sangat mekenkan bahwa indahnya cinta adalah setelah resmi menjadi suami isteri yang sah. Definisi cinta yang sesungguhnya menjadi daya darik dari novel ini.
Tokoh Khairul Azzam dalam novel ini merupakan gambaran simbolik muslim sejati. Azzam aladah seseorang yang sangat idealis, mempunyai semangat yang tinggi untuk maju, berjiwa besar dan sangat patuh kepada hukum agama.
Salahlah bagi orang yang belum memiliki ikatan suami isteri, sudah berhubungan layaknya sepasang suami isteri. Era globalisasi yang mengharuskan seseorang menghalalkan segala cara. Pasalnya semua kezaliman yang kita lakukan akan dipertanyakan di akhirat nanti.
Bahasa yang digunakan pengarang merupakan bahasa yang sangat indah, yang tiap paragrafnya bisa dijadikan sebuah cerpen. Bahasa yang mendeskripsikan keadaan masyarakat di Mesir, dan seolah-olah kita dibawanya ke sana, melihat dan terlibat dalam cerita itu. Catatan kaki yang mempermudah definisi dari istilah-istilah islam yang digunakan.
Tema yang diambil oleh pengarang menjadi salah satu obat bagi kaum awam yang kurang mengerti akan hukum agama, terutama bagi para remaja yang sangat berpeluang tinggi melakukan kemaksiatan. Jalan cerita dimulai dari seorang pria bernama Khirul Azzam yang menjadi tokoh utama yang memulai studynya di Al-Azzar University, Cairo, Mesir. Seorang pemuda yang rela mengorbankan segalanya untuk keluarganya tercinta yang telah membuatnya menjadi seperti itu. Pengarang tampak berdiri pada posisi orang ke-tiga. Dwilogi Ketika cinta bertasbih tidak sekedar novel romantis, ini juga novel fikih yang ditulis dalam alur cerita yang tak mudah di tebak.
Habiburrahman El Shirazy adalah sarjana Al Azhar University Cairo. Founder dan Pengasuh Utama Pesantren Karya dan Wirausaha Basmala Indonesia, yang berkedudukan di Semarang, Jawa Tengah. Ia dikenal secara nasional sebagai dai, novelis, dan penyair yang mampu menghidupkan cerita, alur cerita yang membuat membaca merasa tegang dan selalu menebak-nebak bagaimana cerita selanjutnya. Ia juga yang menerbitkan novel “Ayat-ayat Cinta”, yang menggambarkan perjuangan seorang pemuda yang sederhana yang mendapat fitnah. Sesuatu yang amat tidak disukai oleh Tuhan. Cara penyamapaian yang diberikan Habiburrahman dalam kedua novelnya ini tidak jauh berbeda.
Harganya yang cukup terjangkau dan bahasa yang mudah dimengerti menjadi keunggulan buku ini, pantasnya bahwa buku ini menjadi Best Seller, dan Habiburrahman sendiri kini telah menjadi penulis novel terbaik di Indonesia. Beberapa penghargaan bergengsi berhasil diraihnya, antara lain, Pena Award 2005, The Most Favorite Book and Writer 2005, dan IBF Award 2006. Tak jarang ia diundang untuk berbicara di forum-forum nasional maupun internasional, baik dalam kapasitasnya sebagai dai, novelis, maupun penyair. Seperti di Cairo, Kuala lumpur, Hongkong, dan lain-lain.
Namun, dalam karyanya ini, pengarang terlalu menekankan pada segi percintaannya, bahasa yang berlebihan saat melukiskan keindahan, dan pendeskripsian saat telah menjadi sepasang suami isteri.
Terlepas dari retakan tersebut, buku ini telah menggebrak bagaimana seharusnya manusia berperilaku sehari-hari yang sesuai dengan norma agama, sosial dan norma di masyarakat. Mengajak untuk menyucikan jiwa, dwilogi Ketika Cinta Bertasbih ini menyadarkan apa makna prestasi yang sesungguhnya. Novel yang dasyat dan benar-benar berbeda dan mampu mendefinisikan arti cinta yang sebenarnya, “Cinta Sejati yang Tidak Menyakitkan, tetapi Menyembuhkan”.
aku, korban letusan krakatau
“Hari ini akhirnya aku menyaksikan mahakarya buatan Sang Pencipta semesta. Sebuah gunung laut yang terletak diantara pulau Jawa dan Sumatera itu kini terhampar dihadapanku.
Anak Krakatau. Demikian nama sang gunung laut. Dahulu puncak yang dia miliki merupakan salah satu dari tiga puncak yang dimiliki induknya Krakatau purba. Dahulu dia bernama Rakata yang ditemani Danan dan Perbuatan membentuk tiga puncak krakatau, sebelum peristiwa yang menjadi bencana alam terdahsyat sepanjang masa itu terjadi dan melenyapkan keduanya. Letusan yang maha dahsyat dengan suara dentumannya yang memekakkan telinga, membelah udara menghasilkan getaran dahsyat yang menenggelamkan danan dan perbuatan dan menyebabkan air laut terdesak dan menciptakan tsunami dengan gelombang setinggi 40 meter. Tak terbayang berapa banyak yang menjadi korban. Belum lagi abu yang dimuntahkannya menggelapkan langit, hingga 3 tahun kemudian abu tersebut masih melayang bagaikan tirai di langit.
Setiap kali aku menjejakkan kaki di tiap sentimeter Pulau Krakatau, aku serasa merasakan gemuruh yang dahulu pernah ditimbulkannya. Setiap kali aku menatap tiap sudut Pulau Krakatau dari kejauhan, aku kembali mengingat kejadian ketika air laut tiba-tiba surut dan muncul gelombang tinggi yang akhirnya menyapu seluruh pesisir daratan. Gelombang yang menghanyutkan penduduk desaku dan penduduk desa lain yang terletak disekitar desaku yang juga di pesisir pantai. Aku sangat bersyukur dapat selamat dari kejadian itu. Terlebih lagi seluruh keluargaku pun selamat tak kurang suatu apapun. Setelah kejadian itu, akhirnya kami putuskan untuk mengungsi ketempat yang lebih tinggi sebelum sang gelombang kembali menyentuh daratan. Disana (dataran tinggi/perbukitan) kami mengira telah terbebas dari bahaya. Namun ternyata kami salah, kejadian yang lebih buruk akan segera datang. Tiba-tiba saja terdengar letusan yang memekakkan telinga dan muncul awan panas yang dengan sangat cepat menerjang dan menghanguskan apapun yang menghalangi. Kamipun segera mencari tempat berlindung. Setelah semua berakhir, kamipun keluar dari tempat perlindungan dan melihat keadaan sekitar telah luluh lantak tak beaturan. Aku sudah tak dapat lagi menceritakannya, namun aku juga tak dapat melepaskannya dari ingatanku. Kjadian itu hanya dapat kukenang. Betapa sulit kehidupan kami setelah kejadian itu yang tak dapat kuceritakan lagi pada kalian. Aku hanya berharap, anak krakatau tak mengikuti jejak ibunya, memuntahkan lavanya kepermukaan. Agar kalian generasi setelah aku tak merasakan bencana maha dahsyat itu.”
“Kurasa cukup sudah ceriteraku tentang letusan krakatau kepada kalian. Aku sebagai salah satu dari korban berharap kalian tak merasakan apa yang dulu aku rasakan. Sekarang sudah saatnya kalian tidur, karena malam sudah semakin larut.” Ujarku kepada para cucuku yang sedang menikmati liburannya dirumahku, didekat pulau krakatau. Mereka pulalah yang memaksa aku untuk mengingat dan menceritakan kembali peristiwa yang sulit dan tak akan dapat kulupakan.
Akhirnya aku dapat juga memejamkan mata ini setelah lelah seharian menanggapi ulah mereka. Baru saja aku mempertemukan kedua kelopak mataku, aku merasakan tiba-tiba tanah bergetar, bumia berguncang. Ya Tuhan!! Apakah kejadian yang aku takutkan itu akan terjadi lagi??!
“Tidak!!!!!!!!” teriakku sekuat tenaga memecah kesunyian malam. “Ada apa, Riko?” suara lembut itu menenangkanku. Ketika aku membuka mata, terlihat berbagai buku dan literature tentang krakatau berserakan diatas meja belajarku. Alhamdulillah, rupanya aku hanya bermimpi. Karena terlalu banyak membaca dan meresapi kejadian itu aku sampai ketiduran. Dan aku masih menjadi anak SMA, bukan seorang kakek yang memiliki banyak cucu. Horee…!!! Aku berteriak girang dalam hati.
ampun pak!!!
“Ben, Rik, kalian udah bikin pr fisika belum?” tanya Raka sesaat setelah masuk ke kelas. “Belum. Gue gak ngerti.” Jawab Beno. “Gue juga belum. Kemarin waktu gue nyoba ngerjain, perut gue malah mules-mules terus bawaannya gelisah mulu. Malah badan gue sampe panas dingin. Padahal baru ngeliat soalnya doang!” jawab Riko terlalu dramatis. “Loe sendiri gimana? Udah belum?”, tanya Beno. “Ah.loe kayak yang gak tahu gue aja sich. Ya idem lah, gue belum. Kalo udah ngapain juga gue nanya ke kalian. Khan maksud gue nanya tuh, gue mau nyontek punya kalian.” Jawab Raka. “Padahal harapan gue hanya ada pada kalian lho! Gue gak mau dihukum sama Bu Panca nich.” “Ah, gue punya ide. Gimana kalau kita bolos aja, tapi kalo jamnya Bu Panca udah selesai, kita masuk lagi.”, usul Riko. “Maksud loe kita bolos jam mata pelajaran gitu?”,tanya Raka. “ Yup, anda benar.” “Eh, tapi ngomong-ngomong gimana caranya? Gue khan belom pernah bolos dari Zaman manusia purba masih jadi preman Ancol.” “Sama, Gue juga gak tahu, Rik.” “Udah, masalah itu mah gak usah dipikirin. Gue tahu tempat yang aman.”jawab Riko menanggapi keluhan teman-temannya.
Tak ada seorang pun yang tahu apa yang akan mereka lakukan. Karena semua sudah masuk ke kelas masing-masing karena bel masuk sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu.
“Rik, ngapain kita ke sini?”, tanya Raka. “kalau bolosnya di sini, gue gak ikutan ah. Mending gue diomelin Bu Panca deh.”,protes Raka sembari menutup hidungnya. “Iya nih. Gue juga gak ikutan ah kalo disini. Hidung gue gak tahan menghirup udara yang terkontaminasi polusi kayak gini.”, Beno juga setuju dengan Raka. Setelah percakapan di kelas, mereka pergi menuju wc siswa di belakang sekolah. “Eh, sabar dong cing. Baru juga nyampe, udah protes main protes aja.” “Kita kesini bukan berarti kita harus bolos disini. Kalo disini sama aja loe cari mati sama Pak Deni. Tapi kita kesini buat ini…”, cegah Riko sambil menyibakkan semak-semak disamping toilet siswa. Dari situ tersembul sebuah batu yang cukup besar. Ternyata batu itu akan digunakan sebagai pijakan ketika memanjat pagar sekolah. Sebenarnya bukan pagar, namun tembok.
Pihak SMA Bintang Kejora, tempat mereka bersekolah memang sudah mengantisipasi akan adanya peristiwa membolos seperti yang terjadi sekarang ini. Namun apa daya jika kenekatan para bocah-bocah itu tak jua dapat dipupusakn oleh upaya pihak sekolah tersebut. Padahal diatas tembok tersebut telah diberi pecahan kaca dan kawat berduri.
“Gue gak jadi ikut ah. Perasaan gue gak enak.” Sahut Raka. “Udah ikut aja. Itu khan Cuma perasaan loe doang. Emangnya loe mau apa kena semprot Bu Panca lima hari lima malem?” Riko kembali membujuk raka yang ragu. “Ya udah deh. Gue udah kepalang tanggung. Udah terlanjur basah.”jawab Raka. “Basah kenapa loe? Ngompol? Haha ”, canda Beno. Setelah diawali dengan berdoa dan mengheningkan cipta, mereka bertiga mulai memanjat pagar tembok. Yang pertama memanjat adalah Riko, karena dia yang akan memandu teman-temannya yang baru pertama kali melakukan pembolosan, kemudian disususl oleh Beno dan Raka.
Pemanjatan pertama, berjalan mulus karena dilakukan oleh ahlinya. Pemanjatan kedua, lumayan. Karena masih amatir, Beno sedikit tergelincir ketika turun dan kaki sebelah kanannya terperosok kedalam selokan. Alhasil celana abu-abunya berubah warna mwnjadi hitam dan berbau tidak mengenakkan hidung siapapun yang masih dapat digunakkan dengan baik dan benar. Sudah memang memiliki kaki yang berbau tak sedap, ditambah tercebur pula ke selokan! Sungguh malang nasib Beno.
Pemanjatan ketiga sekaligus terakhir dari misi mereka bertiga ini memiliki cerita tersendiri. Ketika Raka yang bertubuh cukup subur namun belum berhasil menyaingi kerbaunya Pak Rahmat dalam hal ukuran badan tengah memanjat pagar tembok, tiba-tiba muncul Pak Deni, guru BP SMA Bintang Kejora. Beliau memergoki Raka yang tengah memanjat pagar tembok. “Hei! Siapa itu?!! Mau bolos ya kamu!!”, teriak Pak Deni dari kejauhan sambil berlari mendekat. Kaena panik Raka segera ingin mengakhiri pemanjatannya dan bergegas turun. Namun naas, ketika kaki kirinya hendak melangkahi pagar, celananya menyangkut disalah satu kawat berdurinya. Karena paniknya dia terus mencoba menarik celnanya sekuat tenaga dan berhasil! Namun karena kehilangan keseimbangan, ia terjatuh tepat menindih Riko yang berada dibawahnya. Untung saja Riko tengah berdiri diatas tumpukan jerami. Namun sayang, ternyata diatas tumpukan jerami yang terduduki oleh Riko itu terdapat kotoran sapi yang masih segar. Alhasil bau kotoran sapi menyeruak dari tubuh Riko. Ih, sungguh bau dan menjijikan! Nasib Riko seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa Raka, hasilnya bau pula!
“Rak, Ben, ayo cepat kita kabur dari sini, sebelum Pak Ngatijo dan Pak Ngatimin duet satpam serem kita itu tahu kita ada disini!”, ajak Raka.
“Aduh, kaki gue kotor nich!”, ujar Beno. “Badan gue juga sakit semua nich!”, ujar Raka tak mau kalah. “sudah, sekarang itu semua gak penting. Yang penting selamatkan diri kalian dulu!”, ujar Riko kesal oleh rengekan kedua temannya.
Tepat ketika mereka bangun dan hendak berlari,
Sreet…
“Aduh, aduh, aduh………telinga gue, aduh-aduh”
“Ampun cing! Aduh, jangan ditarik terus dong telinga gue!”
“Aw-aw! Aduh… sakit!”
secara tiba-tiba telinga mereka ditarik oleh beberapa orang. Dan ketika mereka mendongakkan kepala…
“He..he..he.. ampun Pak, jangan ditarik terus dong Pak telinga saya.” Kata Riko sambil tersenyum pahit.
“Iya, Pak. Jangan dijewer lagi dong, Pak.” Iba Raka. “Iya Pak. Peace!” ujar Beno sambil mengangkat dua jarinya. “Halah. Apa itu pas-pis,pas-pis! Tiada ampun bagi kalian1 ayo Pak Satpam, bawa mereka ke ruang BP.” Kata Pak Deni tegas.
Akhirnya merekapun digiring bagai buronan oleh duet satpam dan Pak Deni ke runag BP. Di ruang BP, mereka mendapat semprotan omelan dn setumpuk nasihat dari Bu Panca dan Pak Deni. “Kalian ini mau jai apa nanti1 kerjanya hanya membolos saja!”, omel Pak Deni. “Seharusnya kalian bertanya jika tidak mengerti, bukannya membolos seperti ini! Mau jadi apa kalian nanti!!”, tambah Bu Panca. “Ia Pak, Bu, kami salah. Ampun deh, Bu. Gak akan lagi-lagi.” Kata Beno penuh dengan penyesalan. “Hmm… Bu, sepertinya saya tahu hukuman yang akan mereka dapatkan kali ini.” Kata Pak Deni sambil tersenyum usil. Mereka bertiga bergidik ngeri, karena tahu kebiasaan Pak Deni yang hobi mengusili anak-anak yang masuk ruang BP.
Istirahat pertama di lapangan utama sekolah…
“Ha..ha..ha… Rik, nape tu pantat loe? Abis berkubang sama sapinya Pak Rahmat ye..?” teriak Heri, teman sekelas mereka.
“Suit… suit… Raka seksi banget tuch teman-teman. Celananya robek sampai paha gitu!” ejek Eki.
“Nih!” kata Nita sembari mengacungkan sebotol parfum ke arah Beno. “Buat apa?” tanya Beno bingung. “Buat loe pake mandi, supaya badan loe gak bau lagi waktu masuk ke kelas. Ha..ha..ha..” tawa Nita sambil berlalu dengan teman-temannya.
Begitulah sedikit ejekan dari teman-teman mereka ketika melintasi lapangan utama dan melihat mereka tengah dihukum oleh Pak Deni, berjemur dengan pose hewan ditengah lapangan. Belum lagi papan dada yang ada di tubuh mereka, bertuliskan hal-hal yang tidak wajar. Berjuta rasa berkecamuk dalam hati dan pikiran mereka. Terutama rasa malu yang teramat dalam. Juga pusing yang tak terhingga. Memikirkan 100 soal yang menanti dari Bu Panca. Tidak!!!
“Haduuuh, Pak, Bu, ampun dech. Saya kapok bolos lagi Pak………”
Search
jam berapa sekarang?
tentang kami
- bahasa dan sastra indonesia
- kami hanyalah sekelompok remaja kelas XI, yang mencoba sukses...