aku, korban letusan krakatau

“Hari ini akhirnya aku menyaksikan mahakarya buatan Sang Pencipta semesta. Sebuah gunung laut yang terletak diantara pulau Jawa dan Sumatera itu kini terhampar dihadapanku.

Anak Krakatau. Demikian nama sang gunung laut. Dahulu puncak yang dia miliki merupakan salah satu dari tiga puncak yang dimiliki induknya Krakatau purba. Dahulu dia bernama Rakata yang ditemani Danan dan Perbuatan membentuk tiga puncak krakatau, sebelum peristiwa yang menjadi bencana alam terdahsyat sepanjang masa itu terjadi dan melenyapkan keduanya. Letusan yang maha dahsyat dengan suara dentumannya yang memekakkan telinga, membelah udara menghasilkan getaran dahsyat yang menenggelamkan danan dan perbuatan dan menyebabkan air laut terdesak dan menciptakan tsunami dengan gelombang setinggi 40 meter. Tak terbayang berapa banyak yang menjadi korban. Belum lagi abu yang dimuntahkannya menggelapkan langit, hingga 3 tahun kemudian abu tersebut masih melayang bagaikan tirai di langit.

Setiap kali aku menjejakkan kaki di tiap sentimeter Pulau Krakatau, aku serasa merasakan gemuruh yang dahulu pernah ditimbulkannya. Setiap kali aku menatap tiap sudut Pulau Krakatau dari kejauhan, aku kembali mengingat kejadian ketika air laut tiba-tiba surut dan muncul gelombang tinggi yang akhirnya menyapu seluruh pesisir daratan. Gelombang yang menghanyutkan penduduk desaku dan penduduk desa lain yang terletak disekitar desaku yang juga di pesisir pantai. Aku sangat bersyukur dapat selamat dari kejadian itu. Terlebih lagi seluruh keluargaku pun selamat tak kurang suatu apapun. Setelah kejadian itu, akhirnya kami putuskan untuk mengungsi ketempat yang lebih tinggi sebelum sang gelombang kembali menyentuh daratan. Disana (dataran tinggi/perbukitan) kami mengira telah terbebas dari bahaya. Namun ternyata kami salah, kejadian yang lebih buruk akan segera datang. Tiba-tiba saja terdengar letusan yang memekakkan telinga dan muncul awan panas yang dengan sangat cepat menerjang dan menghanguskan apapun yang menghalangi. Kamipun segera mencari tempat berlindung. Setelah semua berakhir, kamipun keluar dari tempat perlindungan dan melihat keadaan sekitar telah luluh lantak tak beaturan. Aku sudah tak dapat lagi menceritakannya, namun aku juga tak dapat melepaskannya dari ingatanku. Kjadian itu hanya dapat kukenang. Betapa sulit kehidupan kami setelah kejadian itu yang tak dapat kuceritakan lagi pada kalian. Aku hanya berharap, anak krakatau tak mengikuti jejak ibunya, memuntahkan lavanya kepermukaan. Agar kalian generasi setelah aku tak merasakan bencana maha dahsyat itu.”

“Kurasa cukup sudah ceriteraku tentang letusan krakatau kepada kalian. Aku sebagai salah satu dari korban berharap kalian tak merasakan apa yang dulu aku rasakan. Sekarang sudah saatnya kalian tidur, karena malam sudah semakin larut.” Ujarku kepada para cucuku yang sedang menikmati liburannya dirumahku, didekat pulau krakatau. Mereka pulalah yang memaksa aku untuk mengingat dan menceritakan kembali peristiwa yang sulit dan tak akan dapat kulupakan.

Akhirnya aku dapat juga memejamkan mata ini setelah lelah seharian menanggapi ulah mereka. Baru saja aku mempertemukan kedua kelopak mataku, aku merasakan tiba-tiba tanah bergetar, bumia berguncang. Ya Tuhan!! Apakah kejadian yang aku takutkan itu akan terjadi lagi??!

“Tidak!!!!!!!!” teriakku sekuat tenaga memecah kesunyian malam. “Ada apa, Riko?” suara lembut itu menenangkanku. Ketika aku membuka mata, terlihat berbagai buku dan literature tentang krakatau berserakan diatas meja belajarku. Alhamdulillah, rupanya aku hanya bermimpi. Karena terlalu banyak membaca dan meresapi kejadian itu aku sampai ketiduran. Dan aku masih menjadi anak SMA, bukan seorang kakek yang memiliki banyak cucu. Horee…!!! Aku berteriak girang dalam hati.


 

posted by bahasa dan sastra indonesia on 09.07

0 komentar:

Search