penjajahan era modern

17 agustus 1945 adalah hari yang dikenang oleh bangsa dan negara ini sebagai hari dikumandangkannya teks proklamasi. Seantero Indonesia menyambut secara sukacita kebebasan atas bangsa lain yang mengatur Indonesia secara dictator. 350 tahun oleh belanda dan 35 tahun oleh jepang rasanya adalah waktu yang sangat lama dirasakan oleh nenek moyang. Keringat, air mata, dan darah mewarnai perjuangan para pejuang bangsa. Tak sedikit nyawa yang melayang dalam perjalanan menuju kemerdekaan. Raga dan jiwa didedikasikan secara sukarela demi merebut harga diri dan jati diri bangsa.

63 tahun berlalu dalam perjalanan ibu pertiwi. Kita patut bersyukur kepada tuhan YME karena sang saka merah putih masih kokoh berdiri hingga saat ini. 1945 sampai selamanya adalah slogan yang terdapat di benak punggawa nusantara. Namun pertanyaannya sekarang, dapatkah hal tersebut terealisasi?

Pada era globalisasi ini, negara-negara agresor memiliki cara yang sangat canggih untuk menaklukan negara-negara jajahan. Cara ini lebih efektif dibandingkan dengan agresi militer atau angkat senjata. Cara ini dinilai lebih halus karena mungkin negara jajahan tidak menyadarinya. Cara ini, bagaikan racun yang menyebar sangat lambat namun sangat mematikan lawan.

Universalitas sebagai akibat dari perkembangan zaman adalah kamuflase yang dibuat untuk menutupi “kebusukan” para agresor. Salah satu hal yang dibawa agresor dari slogan globalisasi adalah bahasa negaranya.

Bahasa merupakan hal yang sangat urgen karena dapat membuat seseorang memahami orang lain. Bahasa sebagai fasilitator penukar pikiran kmutlak harus dimiliki oleh suatu bangsa. Dalam hal ini sumpah pemuda pada 28 oktober 1928 semakin menguatkan individu-individu Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Tapi apa yang terjadi sekarang? Berbalik 180 derajat.

Bahasa Indonesia yang baik dan benar memang memiliki tempat untuk menggunakannya, yaitu di forum-forum resmi. Namun bahasa Indonesia dapat diibaratkan sebagai pohon yang besar yang memiliki akar-akar yang banyak. Akar-akar dari bahasa Indonesia adalah bahasa daerah. Bahasa yang digunakan di daerah tertentu, sering disebut bahasa pergaulan. Misalnya bahasa daerah betawi, biasa disebut bahasa pergaulan betawi. Bahasa pergaulan berbeda dengan bahasa gaul. jika bahasa pergaulan adalah akar dari bahasa Indonesia, tidak dengan bahasa gaul. bahasa gaul adalah suatu bahasa yang biasa digunakan oleh para remaja. Bahasa ini diciptakan sendiri oleh mereka dan tidak ada maknanya dalam KBBI. Misalnya saeperti bete, so what gitu loch, dll. Bahasa ini sebagian besar merupakan campuran dengan bahasa asing.

Bila dibiarkan, lama kelamaan para generasi muda akan lebih sering menggunakan bahasa gaul daripada bahasa pergaulan. Hal ini tentu akan berimbas pada pelestarian bahasa Indonesia dan bahasa pergaulan. Dan akan berdsampak pula pada budaya bangsa. Jika bahasa Indonesia dilupakan, tentu budaya-budayanya akan ditinggalkan pula. Karena akar-akar dari bahasa Indonesia adalah bahasa daerah yang notabene adalah bahasa yang digunakan sebagian besar oleh kebudayaan-kebudayaan tradisional di Indonesia. Menurut jenderal TNI ryamizard ryacudu dalam bukunya perang modern (2004) “budaya adalah landasan dan sumber orientasi utama suatu bangsa terhadap berbagai permasalahan yang berkembang dan sebagian basis tumbuhnya system nilai dan norma suatu bangsa”

Saat itulah para agresor dengan embel-embel universalitas masuk ke negara tujuannya. Dan akhirnya budaya baru itulah yang akan diterima oleh para generasi muda karena mereka seperti sudah akrab dengan budaya tersebut. Mereka akan menerima budaya dari negara agresor perlahan-lahan lalu akan tercipta sugesti di pikiran mereka bahwa budaya negara agresor lebih baik dari budaya negara mereka sendiri. Lama kelamaan lifestyle pun akan menyusul masuk ke negeri ini. Mereka akan semakin terbiasa dengan budaya negara agresor dan budaya mereka akan dilupakan. Jika sudah terjadi hal yang demikian, akan sangat mudah mempengaruhi mereka saat ada isu-isu politik yang memojokkan negara agresor.

Gerakan separatisme akan terjadi dimana-mana guna memisahkan diri dari negara. Bersamaan dengan itu, agresor akan mendekati gerakan separatis bahkan membantu dengan berbagai bantuan. Dan itulah saat kehancuran yang sudah diskenariokan negara – negara agresor.

Untuk menghindari hal tersebut, hendaknya tertanam kecintaan yang mendalam kepada bangsanya. Dan terus mendekatkan diri kepada tuhan YME. Itulah dua modal dasar yang benar – benar harus tertanam pada diri setiap individu Indonesia.


ferry maulana prateja

 

posted by bahasa dan sastra indonesia on 09.56

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Halo blogger satucikutra.blogspot.com. Saya boleh bertanya ya. Tulisan ini dapat dari mana ya?

Search